(Pengalaman LSM VESTA Yogyakarta)
Oleh : Yusuf Kusumo Nugroho & Tim Vesta.
Data STBP[1] 2013 secara nasional menunjukkan terjadi kenaikan tingkat prevalensi HIV, terutama pada populasi lelaki seks dengan lelaki (LSL), yaitu pada tahun 2009 berkisar pada angka 7.0% menjadi 12.8% pada tahun 2013. Sama halnya dengan penyakit sifilis yang juga mengalami kenaikan, data terakhir di angka 11.3%. Demikian juga di lingkup Kota Yogyakarta, prevalensi HIV juga mengalami kenaikan lebih dari 13%, sedangkan penyakit sifilis sebesar 6%. Prevalensi HIV tersebut relatif tinggi pada populasi LSL dengan kisaran usia 25-29 tahun.Dari gambaran situasi ini menarik kiranya untuk melihat bagaimana upaya penangulangan HIV pada populasi LSL yang dilakukan oleh LSM Vesta. Salah satu upaya kunci yang perlu dilakukan adalah pendekatan yang sesuai dengan karakteristik pada populasikunci tersebut. Beberapa karakteristik pada kelompok LSL, antara lain merupakan populasi yang tersembunyidan memiliki mobilitas yang tinggi. Dengan demikian, untuk mengetahui besaran populasi LSL tidak cukup hanya berdasarkan komunitas yang nampak saja, namun perlu juga berbasiskan media sosial.Meskipun pemetaan berbasis aplikasi internet ini belum diakui sebagai sebuah pemetaan, namunpendekatan ini tetap dilakukan oleh Vesta sebagai sebuah cara untuk memperkirakan besaran populasi LSL.
Dengan melihat adanya kecenderungan peningkatan kasus HIV pada populasi LSL, salah satu strategi yang mulai dikembangkan oleh Vesta untuk pengembangan intervensinya adalah mengintegrasikan layanan penjangkauan sampai layanan pendampingan, dalam satu layanan lembaga.Strategi ini ditujukan untuk mendorong VCT dan inisiasi ARV serta untuk penguatan pada populasi ODHA LSL untuk menjaga kepatuhan pengobatan. Meskipun baru satu tahun strategi ini dilakukan, salah satu hasil yang telah dicapai adalah lebih dari 70% LSLyang terdeteksi HIV melalui VCT, telah mengikutiterapi ARV. Sementaraangka cakupan VCT pada tahun 2015 telah mencapai 49% dari target nasional sesuai SRAN. Pembelajaran yang bisa diambil dari capaian ini adalah ternyata media sosial berpengaruh dalam mendorong populasi LSL untuk mengakses layanan VCT. Namun, untuk mendorong LSL dengan HIV positif agar mengakses ARV dirasakan masih cukup berat dengan berbagai alasan klasik, seperti adanya efek samping ARV, stigma dari komunitas, dan pengetahuan CST yang belum memadai.
Dari gambaran situasi dan kondisi yang telah diulas di atas, tantangan ke depan yang harus dijawab dan memerlukan langkah strategis sesuai dengan kondisi Yogyakarta sebagai kota pelajar dan pariwisata adalah bagaimana menguatkan upaya edukasi dan perilaku aman untuk komunitas LSL di wilayah lain. Hal ini dikarenakan dari hasil temuan tiga tahun terakhir ini, kasus HIV baru yang ditemui berasal dari kelompok LSL yang belum lama tinggal di wilayah Yogyakarta atau baru ditemui di lapangan oleh petugas lapangan dan masih berusia remaja. Hal ini menunjukkan bahwa upaya penguatan strategi penjangkauan masih perlu untuk dilakukan, sekaligus menegaskan fakta bahwa dinamika mobilitas pada populasi LSL memang tinggi.
Dari pengalaman di atas menarik kiranya untuk didiskusikan lebih lanjut mengenai :
- Bagaimana caranya menentukan angka estimasi populasi kunci yang mendekati kesesuaian dengan fakta di lapangan?
- Bagaimana pemanfaatan angka estimasi tersebut agar dapat menentukan strategi intervensi yang efektif?
- Bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasinya?

